Tangisan yang Bukan Sekadar Emosi
Banyak jamaah haji dan umrah menangis saat thawaf mengelilingi Ka’bah. Tangisan itu bukan karena kelelahan fisik semata, tetapi lahir dari kedalaman batin. Ketika kaki melangkah mengelilingi rumah Allah, hati seolah disucikan dari beban dunia.
Thawaf membawa suasana haru yang sulit digambarkan. Melihat Ka’bah secara langsung—tempat yang selama ini hanya diimajinasikan dalam doa dan arah sholat—membuat hati luluh.
Perjumpaan Spiritual dengan Allah
Saat thawaf, seseorang merasa sangat dekat dengan Allah. Tak ada hijab antara hamba dan Sang Pencipta. Tangisan pun mengalir karena rasa syukur, penyesalan, dan kerinduan yang terakumulasi dalam waktu lama.
Doa-doa terlantun lirih, menyatu dengan suara ribuan jamaah lainnya. Dalam pusaran thawaf, manusia merasa kecil di hadapan kebesaran-Nya—sebuah pengalaman spiritual yang mendorong hati untuk meleleh dalam air mata.
Air Mata Sebagai Tanda Taubat dan Harapan
Banyak yang menangis karena merasa tak pantas berada di rumah Allah, membawa dosa dan kesalahan masa lalu. Namun justru itulah panggilan thawaf: untuk kembali, memperbaiki diri, dan memohon pengampunan. Setiap langkah menjadi simbol usaha untuk lebih dekat kepada Allah.
Tangisan juga jadi ekspresi harapan—bahwa Allah mendengar, mengerti, dan akan mengabulkan setiap harapan yang diucap di tengah putaran thawaf.
Penutup: Thawaf, Air Mata, dan Doa yang Tak Pernah Sia-Sia
Menangis saat thawaf bukan kelemahan, tapi kekuatan spiritual. Ia menunjukkan bahwa hati masih hidup, masih merindukan Tuhan. Dalam tangisan itu, tersimpan doa-doa terdalam yang tak selalu terucap kata.